Saat
ini terdapat berbagai keluhan dimasyarakat tentang pergaulan negatif yang
banyak terjadi dikalangan pelajar. Pengaruh pergaulan itulah yang akan merubah
karakter pelajar. Banyak diantara mereka yang tidak mau bersekolah apabila
tidak gaul, lalu apakah sebenarnya yang membuat para pelajar tersebut bertindak
sedemikian rupa? Seperti yang terjadi di kebanyakan Sekolah Menengah Pertama di
pedesaan, disana para pelajar dituntut untuk pandai dan juga dengan pergaulan
yang dianggap tidak ndeso, saya
sempat berfikir, untuk apa bersekolah, jika niat mereka hanyalah untuk
memamerkan kecantikan, kekayaan dan tidak pernah menghargai mata pelajaran yang
diberikan oleh guru? Pergaulan sangatlah penting untuk mengatur perilaku
keseharian seorang peserta didik, itulah yang disebut “Better Education Better
Life” jika pendidikan seseorang baik, maka kehidupannyapun akan lebih baik.
Pada
sebuah pedesaan yang jauh dari kota dan keramaian, sekolah masih jarang ada,
jika ada pastilah sekolah tersebut berkualitas dibawah rata-rata bahkan rendah,
itulah realitas yang terjadi didesaku, dimana sekolah hanya menjadi ajang gaul
dan pamer segala macam apa yang dia punya, tidak untuk pamer nilai tinggi, dari
pergaulan yang sudah sangat tidak bermoral tersebutlah saya mencoba mengurai
kalimat kalimat penjelas untuk masalah yang ada.
Hampir
setiap hari, sistem pengajaran disekolah sekolah desa terpencil selalu
terbengkalai, banyak guru yang sengaja datang terlambat dengan alasan “maaf
motor saya mogok” atau ”Jalan yang saya tempuh rusak parah” sebenarnya tidak
ada alasan apapun yang diterima jika penjanji tersebut terlambat. Siswa dalam
sekolahan tersebut telah menunggu untuk mendapatkan ilmu dikelas, namun yang
ada, kelas tersebut kosong tanpa ada sedikitpun pengarahan dan tugas pengganti
kekosongan, hal tersebutlah yang mendorong siswa untuk membolos saat jam
pelajaran, banyak diantara mereka yang memilih untuk lebih banyak berada diluar
sekolah ketika KBM seharusnya berlangsung.
Selain
guru, faktor lain yang menyebabkan siswa menjadi malas berada disekolah adalah
bangunan sekolah yang tidak layak dan fasilitas yang tidak memadahi. Banyaknya
bangunan rusak yang ada disuatu sekolah akan mengurungkan niat siswa untuk
berlama-lama ditempat tersebut, siswa menjadi tidak nyaman dan tidak betah. Hal
tersebutlah yang terjadi di sekolah sekolah di desaku, banyak sekali
pembangunan yang terhambat akibat akses transportasi pengangkut material yang
sulit dan dana yang tidak kunjung cair dari pemerintah, sehingga siswalah yang
menjadi sangat dirugikan dalam persoalan ini.
Sarana
prasarana adalah penunjang pembelajaran yang teramat penting dalam suatu
sekolah, sekolah yang baik akan selau menghadirkan sarana prasarana yang
memadahi bagi guru dan siswanya, namun tidak semua sekolah dapat menyediakan
sarana prasarana tersebut. Misalnya untuk penyediaan alat-alat lab computer dan
lab ipa, semua peralatan yang harus digunakan berharga sangat mahal, sehingga
untuk sekolah-sekolah desa yang notabene adalah orang-orang berekonomi menengah
kebawah, tidak mampu menikmati fasilitas tersebut. Contoh konkret lain dalam
hal ini adalaha adanya keterbatasan ruang dan materi bagi siswa. Disebuah desa
yang penduduknya tidak banyak memegang banyak rupiah, sekolah adalah sesuatu
yang sangat mahal, jika akhirnya diberikan bantuan kepada mereka yang tidak
mampu,tetap saja ada oknum yang memanfaatkan untuk kepentingan pribadi.
Banyak
faktor yang menyebabkan siswa betah bersekolah namun tidak berada disekolah (
membolos ) seperti yang telah diuraikan diatas, kebanyakan dari siswa sekolah
menengah pertama didesaku berangkat memakai seragam namun berakhir ditempat
lain yang bukan sekolah, ketempat wisata sekitar misalnya, hal tersebut terjadi
juga karena kurangnya pengawasan dari guru, orang tua dan masyarakat sekitarnya.
Jika pendidikan yang ditanamkan kepada peserta didik tersebut baik, maka tidak
akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan tersebut, orang tua juga berperan
dalam mendidik moral anak-anaknya agar menjadi anak-anak yang mempunyai
kehidupan lebih baik nantinya, tidak melulu dengan meneruskan apa yang orang
tua mereka wariskan sejak dulu, misalnya orang tua mereka adalah petani kecil,
maka anak dari orang tua tersebut haruslah mampu menjadi yang lebih baik dari
petani, setidaknya jadilah petani yang besar dan hebat.
Sekarang
kita tengok kurikulum kita, apakah kurikulum juga menjadi salah satu penyebab
kebosanan siswa dalam menempuh pembelajaran? Dikutip dari pikiran-rakyat.com, bahwa kurikulum yang diberlakukan di Indonesia
sangatlah kompleks, bayangkan untuk tingkat SD saja mereka harus mempelajari
mata pelajaran sebanyak 11 macam ditambah dengan kompetensi-kompetensi dasar disetiap
mata pelajaran yang sangat banyak, hal tersebut justru akan membuat anak lelah
dan merasa terbebani, oleh karena itu, saat ini pemerintah mulai merencanakan
kurikulim baru yang memangkas mata pelajaran menjadi 5 macam yaitu agama, pendidikan pancasila, bahasa Indonesia, Matematika,
Seni Budaya, dan olah raga dan kesehatan. Namun perencanaan kurikulum baru yang
dicanangkan oleh pemerintah tahun 2013 nanti tersebut, belum menjelaskan
tentang kurikulum yang akan diberlakukan dijenjang SMP dan SMA, besar harapan
saya agar pemerintah dan perencana-perencana kurikulum mampu membuat sebuah
gagasan baru tentang pemberlakuan sekolah sesuai dengan bakat dan minat yang
didasari dengan pendidikan moral yang baik, sehingga nantinya, akan terlahir
orang orang hebat dengan moral yang baik.
Sejarah kurikulum di Indonesia
mengalami banyak tahap perubahan, berikut rincian sejarah kurikulum yang pernah
dan masih berlaku di Indonesia yang saya dapat dari
http://ekagurunesama.blogspot.com/2012/01/sejarah-kurikulum-indonesia.html
1. Tahun 1947 – Leer Plan (Rencana Pelajaran)
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan
memakai istilah leer plan yang artinya rencana pelajaran. Kurikulum ini lebih
bersifat politis dimana terdapat perubahan orientasi pendidikan Belanda ke
kepentingan nasional. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum
diawali dari Kurikulum 1950 karena Leer Plan 1947 baru mulai digunakan pada
tahun 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam
pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947
memberikan keutamaan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan
bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari,
perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
2. Tahun 1952 - Rencana Pelajaran Terurai
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran dengan
merinci silabus setiap mata pelajaran.
3. Tahun 1964 - Rentjana Pendidikan
Pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di
Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran
kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah: bahwa pemerintah
mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan
pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana
(Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik,
keprigelan, dan jasmani.
4. Tahun 1968 - Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964,
yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana
menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.
Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Kurikulum ini merupakan kurikulum terintegrasi pertama.
Beberapa mata pelajaran, seperti Sejarah, Ilmu Bumi, dan beberapa cabang ilmu
sosial mengalami fusi menjadi Ilmu Pengetahuan Sosial. Beberapa mata pelajaran,
seperti Ilmu Hayat, Ilmu Alam, dan sebagainya mengalami fusi menjadi Ilmu
Pengetahun Alam (IPS) atau yang sekarang sering disebut Sains
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti
Rentjana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya
pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan
organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar,
dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.
5. Tahun 1975 - Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan
lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di
bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,”
kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas.
Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam
Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah
“satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap
satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus
(TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan
evaluasi. Pada Kurikulum 1975 guru dibuat sibuk dengan berbagai catatan
kegiatan belajar mengajar.
6. Tahun 1984 - Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski
mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini
juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa
ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan,
mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif
(CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
7. Tahun 1994 dan 1999 - Kurikulum 1994 dan Suplemen
Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 lebih pada upaya memadukan
kurikulum-kurikulum sebelumnya yaitu mengkombinasikan antara Kurikulum
1975 yang berorientasi tujuan dan pendekatan proses yang dimiliki Kurikulum
1984.
Beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan
nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah
masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan
lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan
agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum sehingga Kurikulum 1994 menjelma
menjadi kurikulum super padat.
Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran
Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada merevisi dan pengurangan
beban sejumlah materi.
8. Tahun 2004 – Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran
diurai berdasar kompetensi yang harus dicapai siswa. Kurikulum ini cenderung
Sentralisme Pendidikan, Kurikulum disusun oleh Tim Pusat secara rinci;
Daerah/Sekolah hanya melaksanakan. Kurikulum yang tidak disahkan oleh
keputusan/Peraturan Mentri Pendidikan ini mengalami banyak perubahan
dibandingkan Kurikulum sebelumnya baik dari orientasi, teori-teori pembelajaran
pendukungnya bahkan jumlah jam pelajaran dan durasi tiap jam pelajarannya.
Berdasarkan hal tersebut pemerintah baru menguji cobakan
KBK di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau
Jawa saja. Hasilnya kurang memuaskan. Maka sebagian pakar pendidikan menganggap
bahwa pada tahun 2004 tidak terjadi perubahan kurikulum, yang ada adalah Uji
Coba Kurikulum di sebagian sekolah yang disebut dengan KBK untuk kemudian
disempurnakan pada tahu 2006.
9. Tahun 2006 – Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target
kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak
perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol pada Kurikulum
ini adalah lebih konstruktif sehingga guru lebih diberikan kebebasan untuk
merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta
kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar
kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap
mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen
Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus
dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah
koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.
10. Tahun 2012 – …………………..
Tunggu
Tanggal Mainnya.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa kurikulum di Indonesia sangat mempengaruhi tingkat
kesuksesan siswa dalam menempuh sebuah jenjang pendidikan, kurikulum yang
terlalu sulit akan menjadi beban yang berat bagi siapa saja yang melaluinya,
terutama untuk sekolah-sekolah dengan fasilitas dan sarana prasarana terbatas
seperti dipedesaan dan pedalaman-pedalaman di Indonesia.
Disamping faktor kurikulum, factor
lain yang mempengaruhi tercapainya sebuah pendidikan yang baik adalah factor
sosial, dan budaya. Disebuah desa yang indah seperti desa saya, nilai-nilai
sosial dan budaya sangat dijunjung tinggi, hal tersebut terbukti dengan masih
terlaksananya ritual-ritual adat yang dilakukan secara turun temurun dan sikap
sopan santun para penduduknya. Namun ada sebuah problem yang dihadapi oleh masyarakat sekitar tempat tinggal saya
sekarang, dimana banyak pelajar yang seharusnya menjadi contoh baik
dimasyarakat, justru menjadi bahan pembicaraan negative warganya, contoh
konkret yang sering terjadi adalah pelajar yang merokok sembarangn dijalanan
ataupun ditempat-tempat umum lainnya, pandangan masyarakat akan sangat jelek
terhadap perilaku tersebut, akibatnya nilai nilai yang tertanam dalam diri
pelajar akan hilang bigitu saja, percuma bergelut dengan buku dan catatan jika
sosial dan budaya mereka tidak ada.
Solusi
yang dapat kita gunakan dalam pemecahan masalah ini adalah dengan menanamkan
nilai-nilai moral sejak dini kepada anak. Seperti yang dikatakan oleh Robert P Siregar dalam sebuah komentarnya di http://www.pikiran-rakyat.com/node/174808
bahwa pendidikan harus dimulai dari keluarga. Mengapa Australia yg dulu
nenek moyangnya berasal dari tahanan Kriminal Inggris kini mampu masuk 10
negara terbaik untuk tempat tinggal manusia dan memiliki tingkat kriminalitas
terendah di dunia? Mengapa Indonesia yang dulu nenek moyangnya berasal dari
orang-orang yang Santun, Ramah dan Berbudi Pekerti Luhur kini masuk dalam
kelompok Negara Gagal Dunia, dengan tingkat KORUPSI nomer 3 di dunia dengan
tingkat kriminalitas yang sangat tinggi dan moral yg sangat rendah? Ternyata
semua itu bermuara pada "sistem pendidikan" Pemerintahnya. Para
Pendidik dan Guru di Australia lebih khawatir jika anak-anak didik mereka tidak
jujur, tidak mau mengantri dengan baik, tidak memiliki rasa empati dan hormat
pada orang lain dan etika moral lainnya ketimbang mereka tidak bisa membaca,
menulis dan berhitung."Guru-guru di Australia lebih prihatin jika
murid-murid mereka memiliki perilaku moral yg kurang baik dari pada memiliki
prestasi nilai akademik yg kurang baik" Mengapa ? Karena menurut mereka untuk
membuat anak mampu membaca menulis & berhitung atau menaikkan nilai
akademik, kita hanya perlu waktu 3 sampai 6 bulan saja untuk secara intensif
mengajarkannya. Tapi untuk mendidik perilaku moral seorang anak, kita
membutuhkan waktu lebih dari 15 tahun untuk mengajarkannya. Mengajarkan baca
tulis, berhitung bisa di ajarkan kapan saja, bahkan jika seandainya mereka
sudah dewasa dan tua sekalipun masih bisa dilakukan, Sementara mengajarkan
Etika Moral waktunya sangat terbatas, dimulai saat Balita dan berakhir saat
mereka Kuliah. Selain itu untuk mengubah perilaku moral orang dewasa yg
terlanjur rusak dan buruk, hampir sebagian besar orang tidak mampu
melakukannya.
Solusi
yang saya harapkan dari permasalahan permasalahan pendidikan adalah dengan
mengubah sistem yang salah menjadi lebih tertata dan baik, sehingga akan
menjadikan seluruh peserta didik menjadi orang yang lebih baik dalam
kehidupannya, baik dari segi pergaulan, sosial dan budaya masyarakat. Better Education
Better Life, pendidikan yang baik akan menjadikan kehidupan kita menjadi lebih
baik.
0 komentar:
Posting Komentar