Pages

Rabu, 12 Desember 2012

Pengaruh Pergaulan dalam Pendidikan “Better Education Better Life”


Saat ini terdapat berbagai keluhan dimasyarakat tentang pergaulan negatif yang banyak terjadi dikalangan pelajar. Pengaruh pergaulan itulah yang akan merubah karakter pelajar. Banyak diantara mereka yang tidak mau bersekolah apabila tidak gaul, lalu apakah sebenarnya yang membuat para pelajar tersebut bertindak sedemikian rupa? Seperti yang terjadi di kebanyakan Sekolah Menengah Pertama di pedesaan, disana para pelajar dituntut untuk pandai dan juga dengan pergaulan yang dianggap tidak ndeso, saya sempat berfikir, untuk apa bersekolah, jika niat mereka hanyalah untuk memamerkan kecantikan, kekayaan dan tidak pernah menghargai mata pelajaran yang diberikan oleh guru? Pergaulan sangatlah penting untuk mengatur perilaku keseharian seorang peserta didik, itulah yang disebut “Better Education Better Life” jika pendidikan seseorang baik, maka kehidupannyapun akan lebih baik.
Pada sebuah pedesaan yang jauh dari kota dan keramaian, sekolah masih jarang ada, jika ada pastilah sekolah tersebut berkualitas dibawah rata-rata bahkan rendah, itulah realitas yang terjadi didesaku, dimana sekolah hanya menjadi ajang gaul dan pamer segala macam apa yang dia punya, tidak untuk pamer nilai tinggi, dari pergaulan yang sudah sangat tidak bermoral tersebutlah saya mencoba mengurai kalimat kalimat penjelas untuk masalah yang ada.
Hampir setiap hari, sistem pengajaran disekolah sekolah desa terpencil selalu terbengkalai, banyak guru yang sengaja datang terlambat dengan alasan “maaf motor saya mogok” atau ”Jalan yang saya tempuh rusak parah” sebenarnya tidak ada alasan apapun yang diterima jika penjanji tersebut terlambat. Siswa dalam sekolahan tersebut telah menunggu untuk mendapatkan ilmu dikelas, namun yang ada, kelas tersebut kosong tanpa ada sedikitpun pengarahan dan tugas pengganti kekosongan, hal tersebutlah yang mendorong siswa untuk membolos saat jam pelajaran, banyak diantara mereka yang memilih untuk lebih banyak berada diluar sekolah ketika KBM seharusnya berlangsung.
Selain guru, faktor lain yang menyebabkan siswa menjadi malas berada disekolah adalah bangunan sekolah yang tidak layak dan fasilitas yang tidak memadahi. Banyaknya bangunan rusak yang ada disuatu sekolah akan mengurungkan niat siswa untuk berlama-lama ditempat tersebut, siswa menjadi tidak nyaman dan tidak betah. Hal tersebutlah yang terjadi di sekolah sekolah di desaku, banyak sekali pembangunan yang terhambat akibat akses transportasi pengangkut material yang sulit dan dana yang tidak kunjung cair dari pemerintah, sehingga siswalah yang menjadi sangat dirugikan dalam persoalan ini.
Sarana prasarana adalah penunjang pembelajaran yang teramat penting dalam suatu sekolah, sekolah yang baik akan selau menghadirkan sarana prasarana yang memadahi bagi guru dan siswanya, namun tidak semua sekolah dapat menyediakan sarana prasarana tersebut. Misalnya untuk penyediaan alat-alat lab computer dan lab ipa, semua peralatan yang harus digunakan berharga sangat mahal, sehingga untuk sekolah-sekolah desa yang notabene adalah orang-orang berekonomi menengah kebawah, tidak mampu menikmati fasilitas tersebut. Contoh konkret lain dalam hal ini adalaha adanya keterbatasan ruang dan materi bagi siswa. Disebuah desa yang penduduknya tidak banyak memegang banyak rupiah, sekolah adalah sesuatu yang sangat mahal, jika akhirnya diberikan bantuan kepada mereka yang tidak mampu,tetap saja ada oknum yang memanfaatkan untuk kepentingan pribadi.
Banyak faktor yang menyebabkan siswa betah bersekolah namun tidak berada disekolah ( membolos ) seperti yang telah diuraikan diatas, kebanyakan dari siswa sekolah menengah pertama didesaku berangkat memakai seragam namun berakhir ditempat lain yang bukan sekolah, ketempat wisata sekitar misalnya, hal tersebut terjadi juga karena kurangnya pengawasan dari guru, orang tua dan masyarakat sekitarnya. Jika pendidikan yang ditanamkan kepada peserta didik tersebut baik, maka tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan tersebut, orang tua juga berperan dalam mendidik moral anak-anaknya agar menjadi anak-anak yang mempunyai kehidupan lebih baik nantinya, tidak melulu dengan meneruskan apa yang orang tua mereka wariskan sejak dulu, misalnya orang tua mereka adalah petani kecil, maka anak dari orang tua tersebut haruslah mampu menjadi yang lebih baik dari petani, setidaknya jadilah petani yang besar dan hebat.
Sekarang kita tengok kurikulum kita, apakah kurikulum juga menjadi salah satu penyebab kebosanan siswa dalam menempuh pembelajaran? Dikutip dari pikiran-rakyat.com, bahwa kurikulum yang diberlakukan di Indonesia sangatlah kompleks, bayangkan untuk tingkat SD saja mereka harus mempelajari mata pelajaran sebanyak 11 macam ditambah dengan kompetensi-kompetensi dasar disetiap mata pelajaran yang sangat banyak, hal tersebut justru akan membuat anak lelah dan merasa terbebani, oleh karena itu, saat ini pemerintah mulai merencanakan kurikulim baru yang memangkas mata pelajaran menjadi 5 macam yaitu agama, pendidikan pancasila, bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya, dan olah raga dan kesehatan. Namun perencanaan kurikulum baru yang dicanangkan oleh pemerintah tahun 2013 nanti tersebut, belum menjelaskan tentang kurikulum yang akan diberlakukan dijenjang SMP dan SMA, besar harapan saya agar pemerintah dan perencana-perencana kurikulum mampu membuat sebuah gagasan baru tentang pemberlakuan sekolah sesuai dengan bakat dan minat yang didasari dengan pendidikan moral yang baik, sehingga nantinya, akan terlahir orang orang hebat dengan moral yang baik.
Sejarah kurikulum di Indonesia mengalami banyak tahap perubahan, berikut rincian sejarah kurikulum yang pernah dan masih berlaku di Indonesia yang saya dapat dari http://ekagurunesama.blogspot.com/2012/01/sejarah-kurikulum-indonesia.html
1. Tahun 1947 – Leer Plan (Rencana Pelajaran)
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan yang artinya rencana pelajaran. Kurikulum ini lebih bersifat politis dimana terdapat perubahan orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950 karena Leer Plan 1947 baru mulai digunakan pada tahun 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 memberikan  keutamaan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.

2. Tahun 1952 - Rencana Pelajaran Terurai
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran dengan merinci silabus setiap mata pelajaran.

3. Tahun 1964 - Rentjana Pendidikan
Pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah: bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani.

4. Tahun 1968 - Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Kurikulum ini merupakan kurikulum terintegrasi pertama. Beberapa mata pelajaran, seperti Sejarah, Ilmu Bumi, dan beberapa cabang ilmu sosial mengalami fusi menjadi Ilmu Pengetahuan Sosial. Beberapa mata pelajaran, seperti Ilmu Hayat, Ilmu Alam, dan sebagainya mengalami fusi menjadi Ilmu Pengetahun Alam (IPS) atau yang sekarang sering disebut Sains
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rentjana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.

5. Tahun 1975 - Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas.
Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Pada Kurikulum 1975 guru dibuat sibuk dengan berbagai catatan kegiatan belajar mengajar.

6. Tahun 1984 - Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).

7. Tahun 1994 dan 1999 - Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya yaitu mengkombinasikan antara  Kurikulum 1975 yang berorientasi tujuan dan pendekatan proses yang dimiliki Kurikulum 1984.
Beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum sehingga Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat.
Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada merevisi dan pengurangan beban sejumlah materi.

8. Tahun 2004 – Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi yang harus dicapai siswa. Kurikulum ini cenderung Sentralisme Pendidikan, Kurikulum disusun oleh Tim Pusat secara rinci; Daerah/Sekolah hanya melaksanakan. Kurikulum yang tidak disahkan oleh keputusan/Peraturan Mentri Pendidikan ini mengalami banyak perubahan dibandingkan Kurikulum sebelumnya baik dari orientasi, teori-teori pembelajaran pendukungnya bahkan jumlah jam pelajaran dan durasi tiap jam pelajarannya.
Berdasarkan hal tersebut pemerintah baru menguji cobakan KBK di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa saja. Hasilnya kurang memuaskan. Maka sebagian pakar pendidikan menganggap bahwa pada tahun 2004 tidak terjadi perubahan kurikulum, yang ada adalah Uji Coba Kurikulum di sebagian sekolah yang disebut dengan KBK untuk kemudian disempurnakan pada tahu 2006.

9. Tahun 2006 – Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol pada Kurikulum ini adalah lebih konstruktif sehingga guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.

10. Tahun 2012 – …………………..
Tunggu Tanggal Mainnya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kurikulum di Indonesia sangat mempengaruhi tingkat kesuksesan siswa dalam menempuh sebuah jenjang pendidikan, kurikulum yang terlalu sulit akan menjadi beban yang berat bagi siapa saja yang melaluinya, terutama untuk sekolah-sekolah dengan fasilitas dan sarana prasarana terbatas seperti dipedesaan dan pedalaman-pedalaman di Indonesia.

Disamping faktor kurikulum, factor lain yang mempengaruhi tercapainya sebuah pendidikan yang baik adalah factor sosial, dan budaya. Disebuah desa yang indah seperti desa saya, nilai-nilai sosial dan budaya sangat dijunjung tinggi, hal tersebut terbukti dengan masih terlaksananya ritual-ritual adat yang dilakukan secara turun temurun dan sikap sopan santun para penduduknya. Namun ada sebuah problem yang dihadapi oleh masyarakat sekitar tempat tinggal saya sekarang, dimana banyak pelajar yang seharusnya menjadi contoh baik dimasyarakat, justru menjadi bahan pembicaraan negative warganya, contoh konkret yang sering terjadi adalah pelajar yang merokok sembarangn dijalanan ataupun ditempat-tempat umum lainnya, pandangan masyarakat akan sangat jelek terhadap perilaku tersebut, akibatnya nilai nilai yang tertanam dalam diri pelajar akan hilang bigitu saja, percuma bergelut dengan buku dan catatan jika sosial dan budaya mereka tidak ada.
Solusi yang dapat kita gunakan dalam pemecahan masalah ini adalah dengan menanamkan nilai-nilai moral sejak dini kepada anak. Seperti yang dikatakan oleh Mengapa Australia yg dulu nenek moyangnya berasal dari tahanan Kriminal Inggris kini mampu masuk 10 negara terbaik untuk tempat tinggal manusia dan memiliki tingkat kriminalitas terendah di dunia? Mengapa Indonesia yang dulu nenek moyangnya berasal dari orang-orang yang Santun, Ramah dan Berbudi Pekerti Luhur kini masuk dalam kelompok Negara Gagal Dunia, dengan tingkat KORUPSI nomer 3 di dunia dengan tingkat kriminalitas yang sangat tinggi dan moral yg sangat rendah? Ternyata semua itu bermuara pada "sistem pendidikan" Pemerintahnya. Para Pendidik dan Guru di Australia lebih khawatir jika anak-anak didik mereka tidak jujur, tidak mau mengantri dengan baik, tidak memiliki rasa empati dan hormat pada orang lain dan etika moral lainnya ketimbang mereka tidak bisa membaca, menulis dan berhitung."Guru-guru di Australia lebih prihatin jika murid-murid mereka memiliki perilaku moral yg kurang baik dari pada memiliki prestasi nilai akademik yg kurang baik" Mengapa ? Karena menurut mereka untuk membuat anak mampu membaca menulis & berhitung atau menaikkan nilai akademik, kita hanya perlu waktu 3 sampai 6 bulan saja untuk secara intensif mengajarkannya. Tapi untuk mendidik perilaku moral seorang anak, kita membutuhkan waktu lebih dari 15 tahun untuk mengajarkannya. Mengajarkan baca tulis, berhitung bisa di ajarkan kapan saja, bahkan jika seandainya mereka sudah dewasa dan tua sekalipun masih bisa dilakukan, Sementara mengajarkan Etika Moral waktunya sangat terbatas, dimulai saat Balita dan berakhir saat mereka Kuliah. Selain itu untuk mengubah perilaku moral orang dewasa yg terlanjur rusak dan buruk, hampir sebagian besar orang tidak mampu melakukannya.
Solusi yang saya harapkan dari permasalahan permasalahan pendidikan adalah dengan mengubah sistem yang salah menjadi lebih tertata dan baik, sehingga akan menjadikan seluruh peserta didik menjadi orang yang lebih baik dalam kehidupannya, baik dari segi pergaulan, sosial dan budaya masyarakat. Better Education Better Life, pendidikan yang baik akan menjadikan kehidupan kita menjadi lebih baik.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

my_twitt

Blogroll

About

translator